Jawabandari soal “arti dari zuhud dalam kaitannya dengan bahasa adalah” diatas yang tepat adalah Arti zuhud kaitannya dengan bahasa yaitu lari. Tags soal dan jawaban Recent Posts Soal dan Jawaban : Atlet olahraga dibawah ini yang membutuhkan unsur kekuatan yang baik yaitu lari futsal sepak bola voli bulu tangkis 24 Maret 2022 2,372
Home/BANK SOAL/Arti dari zuhud dalam kaitannya dengan bahasa adalah? BANK SOAL November 25, 2022 Less than a minute Arti dari zuhud dalam kaitannya dengan bahasa adalah? Lari Mengganggu Bergandengan tangan Diam Semua jawaban benar Jawaban A. Lari. Dilansir dari Ensiklopedia, arti dari zuhud dalam kaitannya dengan bahasa adalah lari.
2 Tujuan Untuk mengetahui masalah yang disebut baik dan buruk, indicator yang dapat digunakan untuk menilai baik dan buruk dan pandangan islam terhadap baik dan buruk. BAB II A. Pengertian baik dan buruk Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa arab, atau good dalam bahasa inggris. Disusun oleh Zaky Imaduddin Definisi Zuhud Berikut adalah definisi zuhud menurut pengertian bahasa dan definisi para ulama Secara bahasa – Tiada ingin kepada sesuatu dan meninggalkannya[1] زهُدَ – يزهَد – زهدًا فى الشيء Jadi, arti zuhud bila ditinjau dari pengertian bahasa adalah berpaling atau tidak ingin kepada sesuatu—bisa karena meremehkan atau menganggap sedikit sesuatu—sehingga ia meninggalkannya. Zuhud menurut pengertian ulama Ada banyak definisi zuhud yang disebutkan/diungkapkan para ulama. Namun, diantara definisi yang ada disebutkan bahwa pengertian zuhud menurut Ibnu Taimiyah yang paling sempurna dan pas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata “Makna zuhud yang sesuai dengan syari’at adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat, dan hatinya yakin serta percaya dengan apa yang ada di sisi Allah.”[2] Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al-Hunaidi mengatakan bahwa pengertian zuhud yang paling sempurna dan paling tepat adalah pengertian ini. Tidak satupun diantara para ulama mendefinisikan zuhud yang mengisyaratkan pada kemiskinan sebagaimana yang dipahami oleh banyak orang yang disebutkan pada pendahuluan ini, yaitu kumuh, tidak berhubungan dengan sesuatu yang ada kaitannya dengan dunia. Jadi jika melihat pengertian zuhud menurut Ibnu Taimiyah diatas, maka syarat’ seorang bisa dikatakan zuhud tidak harus miskin. Tapi beliau mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat—Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat adalah tidak berlebih-lebihan dalam hal-hal yang mubah[3]—dan hatinya yakin serta percaya dengan apa yang ada di sisi Allah. Pengertian ini bisa terjadi pada orang miskin juga orang kaya. Orang kaya bisa dikatakan zuhud selama kekayaan yang dimilikinya tidak membuatnya condong padanya. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata “Zuhud adalah kosongnya hati dari dunia. Bukan kosongnya tangan dari dunia.”[4] Bila ada kasus, terdapat dua pedagang, satu pedagang sukses kaya menjajakan barangnya di tokoh punya toko dengan berbagai jenis barang. Dan satunya lagi pedagang miskin menjajakan barang dagangannya di emperan, hanya menjual satu jenis barang. Saat adzan berkumandang, pedangan kaya tadi langsung menutup tokonya untuk menyambut seruan adzan lantas bergegas menuju masjid. Sedangkan pedangang di emperan tadi masih asyik dengan dagangannya, tidak menghiraukan seruan adzan. Bila isyarat zuhud harus miskin, maka dari kasus diatas manakah yang patut disebut zuhud? Apakah pedagang kaya atau miskin? Imam Ibnu Rajab Al–Hanbali rahimahullah berkata ”Maksud zuhud di dunia adalah mengosongkan hati dari menyibukkan diri dengan dunia, sehingga orang itu dapat berkonsentrasi untuk mencari ridha Allah, mengenal-Nya, dekat kepada-Nya, merasa tenang dengan-Nya, dan rindu menghadap-Nya.”[5] Maka berdasarkan penjelasan beberapa ulama mengenai definisi zuhud di atas tadi, kita bisa menyimpulkan bahwa zuhud tidak harus miskin. Rizki sudah diatur oleh Allah, yaitu rizki akan di dapat jika da’i mencarinya dengan berusaha dsb. Tidak mengapa memiliki harta yang banyak kaya, bahkan bila perlu dai harus kaya, dengan hartanya akan memperkuat dakwahnya. Kaya—karena pandai mencari harta—adalah potensi yang diberikan oleh Allah yang tidak boleh disia-siakan. Bukankah dengan mengatakan bahwa zuhud harus miskin merupakan wujud orang mensia-siakan potensi yang di milikinya? Dai harus memimiliki usaha agar tidak menjadi beban bagi orang lain, dengan syarat tidak membuat lalai dan condong kepadanya. Dai harus memengang ungkapan, “Letakkan dunia pada tanganmu/kantongmu dan letakkan akhirat pada hatimu.” Macam-macam Zuhud Di dalam kitab Taziyatun Nafs karya Ibnu Qayyim, Ibnu Rajab dan Imam Ghazali zuhud dibagi ke dalam beberapa tingkatan, yaitu[6] Yaitu seorang berzuhud terhadap dunia tapi sebenarnya ia menginginkannya tertarik kepadanya. Hatinya condong kepadanya. Jiwanya berpaling Namun, ia memiliki usaha, bermujahadah untuk mencegahnya. Inilah yang disebut mutazahhid atau orang yang berusaha untuk zuhud. Seorang meninggalkan dunia—dalam rangka taat kepada Allah—karena ia melihatnya sebagai suatu yang hina, jika disbanding apa yang hendak ia gapai yaitu akhirat. Orang ini sadar betul bahwa ia berzuhud. Ia juga memperhitungkannya. Keadaannya sama seperti orang yang meninggalkan sekeping dirham untuk mendapatkan dua keping. Seorang berzuhud terhadap dunia dalam rangka taat kepada Allah dan dia berzuhud dalam kezuhudannya. Artinya ia melihat dirinya tidak meninggalkan sesuatu pun. Keadaan orang seperti ini ibarat seorang membuang sampah lalu mengambil mutiara. Perumpamaan lainnya, seperti sesorang yang ingin memasuki istana raja tetapi dihadang oleh seekor ajing di depan pintu gerbang. Lalu ia melemparkan sepotong roti untuk menyibukkannya. Dan dia pun masuk menemui sang raja. Maka, setan adalah anjing yang menggongong di depan pintu gerbang menuju Allah, menghalangi manusia untuk memasukinya. Padahal pintu itu terbuka, penghalang hijab-nya pun tersingkap. Dunia ini ibarat sepotong roti. Siapa yang melemparkannya agar berhasil menggapai kemuliaan sang raja, bagaimana mungkin masih meperhitungkannya? Tingkatan Zuhud Di dalam kitab Madaariju As-Saalikiin Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa zuhud itu terbagi menjadi tiga jenis[7] Zuhud yang wajib dilakukan oleh setiap muslim. Zuhud semacam ini adalah zuhud dengan menjauhi hal-hal yang haram. Zuhud meninggalkan hal-hal atau perkara-perkara makruh dan perkara mubah dengan berlebihan. Yaitu melebihi kebutuhan, seperti berlebihan dalam makanan dan minuman. Berlebihan dalam pakaian dan sebagainya. Meninggalkan kesibukan yang memalingkan diri dari Allah. Zuhud yang sering disalah artikan Pada pendahuluan disebutkan bahwa zuhud menerut penegrtian banyak orang adalah menjauhkan diri dengan segala yang berkaitan dengan dunia, sehingga harus miskin, tidak merasakan nikmat dunia dan sebagainya. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa perilaku menyimpang dari sikap zuhud diantaranya yaitu mereka tidak membolehkan menyembelih hewan, seperti yang dilakukan oleh kelompok Barahimah. Selain itu, ada juga orang yang tidak menikahi perempuan karena ingin zuhud. Tidak menyebelih hewan dan tidak menikahi perempuan seperti kembanggaan bagi mereka, sehingga mereka memuji perbuatan tersebut, “Si Fulan tidak menikah dan tidak juga menyembelih hewan.”[8] Sikap seperti di atas sangat diingkari oleh Nabi Muhammad. Dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya sekelompok sahabat Nabi bertanya kepada isteri-isteri Nabi tentang amalan beliau ketika sendirian. Lalu diantara mereka ada berkata, “Aku tidak akan menikahi perempuan”, yang lain berkata, “Aku tidak akan makan daging”, Kemudian hal ini sampai kepada Nabi Muhammad kemudian beliau memuji Allah dan menyucikan-Nya seraya bersabda, “Apa yang dilakukan orang itu mengatakan begini, begitu, padahal aku shalat aku juga tidur, aku puasa aku juga berbuka, akau menikahi perempuan-perempuan, aku juga makan daging. Barangsiapa membenci sunnahku maka ia bukan dari golonganku.” HR. Bukhari[9] Jadi, zuhud yang benar dan disyari’atkan adalah zuhud yang membawa manfaat untuk akhirat. Nabi bersabda احرص على ما ينفعك, واستعن بالله ولا تعجز “Kerjakanlah apa yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah lemah.” HR. Muslim, Ibnu Majh dan Ahmad Ibnu Taimiyah berkata, “Sesuatu yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah beribadah kepada Allah dan menaati Rasul-Nya, dan setiap sesuatu yang memalingkan seseorang dari hal tersebut maka sesuatu itu membahayakan dan tidak bermanfaat. Kemudian sesuatu yang paling bermanfaat baginya adalah menjadikan setiap amalnya sebagai ibadah. Jika ia menunaikan sesuatu yang di wajibkan dan dibolehkan mubah namun yang mubah tersebut tidak membantunya untuk melakukan ketaatan, maka sesungguhnya ia telah melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat atau membahayaakannya.”[10] Bersambung……… [1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta Mahmud Yunus Wa Dzurriyah, thn. 2009, hlm. 160 [2] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Manhaj Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam Tazkiyatun Nufus, Bogor Pustaka At-Taqwa, hlm. 128 [3] Ibnu Taimiyah, Tazkiyah An-Nafs, terj. Muhammad Rasikh dkk, Darus Sunnah Press Jakarta, thn. 2010, hal. 365. [4] Anas Ahmad Karzun, Tazkiyatun Nafs, terj. Emiel Threeska, Akbar Media Jakarta, thn. 2010, hlm. 311 [5] Sumber Makalah Muhammad Nur Ihwan Muslim, 3 Makna Zuhud yang diambil dari kitab Jami’ul Ulum wal Hikam, hlm. 644-646 sedikit diedit [6] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tazkiyatun Nafs, Maktabah Jedah Saudi Arabia, hal. 68, tanpa tahun. [7] Ibnu Qayyim, Madaariju As-Salikin baina Manzili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nastain, Juz II, hal. 15-16, Maktabah Syamilah [8] Ibnu Taimiyah, Tazkiyah An-Nafs, hal. 369. [9] Ibid [10] Ibid, hlm. 370